GENIAL.ID - Pilkada Serentak telah usai. Sebanyak 270 kabupaten kota di Indoesia telah memilih pemimpinnya. Ada 715 pasangan calon yang ikut andil dalam kompetisi demokrasi ini. Terdapat ribuan pandangan terkait pengelolaan pemerintahan yang diajukan sebagai proposal pada masyarakat. Bersama itu, telah tertuang beragam upaya dalam memenangkan argumentasi tentang siapa yang paling berkompeten.
Kampanye yang dilakukan sebelumnya adalah kerangka besar tentang pewacanaan hidup mendatang. Lahan ekonomi, budaya, pendidikan dan hukum yang menyertainya adalah komoditas harapan yang disasar. Sebagian persen dari cita-cita tersebut tentu bertumpu pada pengangaran pusat terhadap daerah. Sebuah keberuntungan jika pusat dan daerah berada di payung partai yang sama.
Terlepas dari itu, kebijakan daerah tentu berpatok atas kebijakan negara. Demikian juga negara menanggapi setiap usulan sebagai suatu pertimbangan. Proses ini tertuang sebagaimana hierarki perundang-undangan. Untuk itulah otonomi maju sebagai sebuah kreatifitas yang lebih spesifik dari hukum induk yang telah ada.
Alur tersebut tentunya telah dipahami oleh setiap calon kepala daerah. Oleh karena itu diperlukan fleksibilitas dan kreatifitas untuk memahami serta merealisasikan suatu instruksi. Sebagai contoh, Surat Keputusan Bersama (SKB) empat kementrian mengharapkan Pendidikan Tatap Muka (PTM) pada Januari. Sejauh kabar tersebut tersebar, telah banyak penolakan yang terbangun.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa kebijakan tersebut dibahasakan “dimungkinkan”. Tidak ada keputusan yang mewajibkan daerah melaksanaakan instrusksi tersebut. Terlebih kemungkinan yang dimaksud hanya diberlakukan pada daerah yang tergolong zona hijau dan kuning. Selebihnya, terdapat standar yang harus dipenuhi sebelum fatwa tersebut dijalankan.
Pertama, pemerintah dan sekolah mempertimbangkan ketersediaan sarana dan prasarana kebersihan. Kedua, mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan dan memiliki thermogun. Ketiga, memiliki kesiapan wajib masker. Keempat, memiliki peta warga satuan pendidikan terkait riwayat penyakit dan perjalanan.
Bersama itu, satuan pendidikan harus mengantongi izin persetujuan komite sekolah/perwakilan orang tua/wali. Untuk dimengerti, pusat keputusan sepenuhnya ada pada pemerintah daerah. Paparan tersebut adalah tuntutan bagi kepala daerah terpilih untuk memberikan respon. Tanggapan ini dapat berupa sosialisasi maupun tindakan inovasi lebih lanjut.
Sebagian besar yang menjadi subtsansi kepemimpinan adalah mengadakan pendidikan. Setiap peraturan dan keputusan yang diambil menjelma sebagai kultur baru yang membentuk pengetahuan dan karakter masyarakat. Adapun pola-pola dalam penentuan putusan sudah semestinya menjadi proses tabayyun yang tinggi dari pemangku kebijakan.
Mungkin benar bahwa Desember adalah masa sibuk dalam menafsirkan sikap demokrasi. Tapi situasi adalah bagian dari konsekuensi. Tidak ada yang bisa menolak mandat yang diinginkan. Memimpin adalah perkara kepakaran dan kesiapan. Masyarakat tidak akan memaklumkan kesalahan dalam setiap kebijakan yang diterapkan.
Baik dalam kasus pendidikan maupun problematika lainnya, birokrasi harus berkembang sebagai contoh yang ideal. Semua ini agar kebijakan bukan hanya sebuah putusan, tapi kebijakan adalah kebijaksanaan. Tentunya jika konsep tersebut diberlakukan, maka masyarakat akan cukup kooperatif terhadap aturan yang ada. Dari sinilah sejatinya konsep pendidikan diawali.
Pemerintahan adalah pelayanan ilmu pengetahuan. Otonomi adalah pelimpahan kekuasaan dalam mengelolah rumah tangga secara mandiri. Pikiran ini hadir bersama kesadaran bahwa masyarakat itu bertumbuh dan dinamis. Maka otonomi adalah keleluasaan dalam menyelenggarakan pelayanan tersebut.
Pada contoh yang sama, SKB empat kementrian terkait PTM Januari telah menghormati kewenangan tersebut. Pemerintah daerah (Pemda) dipandang sebagai pihak yang paling memahami kondisi, kebutuahan dan kapasitas daerahnya. Untuk itulah pandangan ini seharusnya menghasilkan tindakan baru yang memiliki relevansi.
Pemda bisa saja memulai dengan melakuakan siaran pers terkait tanggapan atas SKB kementrian. Ini cukup beralasan, karena masyarakat sejauh ini terfokus pada Pilkada dan belum cukup memiliki kepahaman. Karena belum masuk pada anggaran baru, Pemda juga dapat menggunakan dana tak terduga yang tersedia sebelumnya. Ini pula akan membantu ketersediaan fasilitas yang diwajibkan dalam protokol penyelenggaran PTM.
Langkah bertahap ini juga merupakan ajakan kepada masyarakat untuk turut berfikir sistematis. Dengan ini akan tercipta ruang publik yang dialektis dan partisipatif. Otonomi bukan hanya bersoal pada pembangunan ekonomi. Otonomi hidup sebagaiamana pemimpin mampu mendayagunakan kapasitasnya sebagai seorang individu dan pemangku kebijakan.
Di fase covid ini, Pemerintah dalam memahami proses Belajar Dari Rumah (BDR) menangkap beberapa potensi persoalan. Pertama, anak berpotensi stres, kesenjangan capaian belajar dan ketidak optimalan pertumbuhan. Kedua, anak juga beresiko kehilangan pengetahuan yang ada (Learning Lost) secara kognitif maupun perkembangan karakter. Selebihnya, banyak pula ditemukan persepsi orang tua yang menganggap sekolah kehilangan peran dalam pendidikan.
Potensi-potensi tersebut bahkan sampai menyentuh pada keharusan anak untuk bekerja dan mendapatkan kekerasan yang tidak terdeteksi.
Beberapa aspek dari kemungkinan-kemungkinan di atas bisa saja terjadi dalam skala umum di luar satuan pendidikan. Masyarakat dapat mengalami stres karena kurangnya pengetahuan dan pergeseran karakter sosial. Dalam hal ini, Pemda adalah satu-satunya pendidik yang berkompeten melalui kebijakan dan otonominya sebagai pribadi.
Sebaik-baiknya kebijakan yang terbentuk dalam keleluasaan otonomi adalah yang meletakkan empati dalam tiap inovasi. Maka terbentuklah masyarakat yang terpelajar sebagaimana seharusnya manusia terbentuk. [**]
**Oleh : Galan Rezki Waskita
Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang