Dalam praktiknya diskursus iman bisa menjadi bola liar jika dimonopoli oleh kelompok tertentu dan menjadi alat melegitimasi tindakannya dan mengeluarkan kelompok yang berbeda dari komunitas islam. Kata kunci iman dengan segala isu yang terkait dengan iman menjadi alat yang sangat efektif untuk mengunci pembicaraan yang berbeda dan mendistingsi secara hitam putih.
Kelompok yang memonopoli iman memandang para filsuf dan teolog yang tidak secara verbatim mengutip ayat-ayat dan riwayat-riwayat dianggap lebih mendahulukan akal dari wahyu.(شيرازی 1363) Jika ditelusuri polemik antara kaum filsuf dan kaum skripturalis disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang prioritas akal dan wahyu…. baik itu sebelum dan sesudah diyakininya posisi wahyu itu sendiri dan metode menafsirkannya.
Metode lahir dari paradigma tertentu. Paradigma filsafat melahirkan metode yang berbeda dari kaum skripturalis. Metode adalah irisan dari paradigma dan nilai. Metode kaum skripturalis (skripturalis) lahir dari paradigma yang memandang bahwa yang valid adalah yang tertulis secara verbatim dan karena itu metodenya adalah menafsirkan hal-hal yang tertulis dan menolak metode takwil yang meyakini adanya makna-makna batin seperti yang diyakini kaum Sufi.
Prinsip (ushul) dan Cabang (furu’) Agama Islam          Â
Agama Islam dibagi menjadi dua bagian prinsip (ushul)  dan cabang (furu’). (Ridhai n.d.) Prinsip (ushul). Prinsip agama yaitu hal-hal yang wajib (dharury) diimani oleh setiap muslim. Menurut Mayoritas kaum ulama, imanlah yang menentukan keselamatan di akhirat dan amal-amal baik menjadi tidak berarti jika tanpa ada keimanan. Dalam rinciannya para ilmuwan berbeda pendapat dalam beberapa hal tentang apa saja yang harus diimani atau disebut dengan  rukun iman tersebut. Asy’ari menyebutkan enam rukun iman : iman kepada Allah, iman kepada para nabi, Iman kepada Hari kiamat, iman kepada para malaikat, iman kepada takdir (qada) baik dan takdir (qada) buruk. Muktazilah meyakini lima rukun iman yaitu tauhid, keadilan ilahi, kenabian, dan ammar makruf nahi munkar. Dalam syiah rukun iman itu ada lima yaitu tauhid, imamah, nubuwah, iman terhadap hari kiamat (ma’ad) dan keadilan Ilahi.(طوسی n.d.)Â
Filsafat tidak lahir dari ruang yang kosong. Filsafat berdialektika dengan zamannya. Definisi filsafatpun berubah-ubah mengikuti konteks zaman. Sokrates mendefinisikan filsafat dengan cinta kebijakan, karena munculnya orang-orang yang tidak bijak yaitu kaum sopis. Ibnu Sina mendefinisikan filsafat sebagai ilmu tentang yang ada dari aspek yang ada, sebagai respon positif atas Aristoteles. Aristoteles merespon dominasi Plato dengan membumikan filsafat. Suhrawardi mendefinisikan Filsafat dengan mengimitasi Tuhan(شيرازي 1392) untuk merivalitasi Peripatetik awal yang dianggap terlalu kering dalam pemikiran rasional dan Mulla Sadra mendefinisikan filsafat (Kamal 2013) yaitu transformasi manusia menjadi alam inteligibel yang mencitrakan alam obyektif sebagai respon atas filsuf, teolog dan para ilmuwan lain di zamannya yang melupakan wujud dengan segala modusnya.
Diskursus filsafat umumnya disandingkan dengan kalam. Filsafat Islam selalu mengkritik kaum teolog dan aliran skeptiksme, dan sama sekali tidak bersinggungan dengan kaum skripturalis kecuali secara sekilas saja.Diskusrus Filsafat umumnya keilmuan, epistemologi, metodologi dan ontologi dan jarang bersentuhan dengan dogma-dogma agama. Namun kemudian sebagian aliran Filsafat akhirnya bersentuhan dengan doktrin-doktrin agama yang umumnya didominasi oleh ahli hadis. Para ahli hadis menganggap filsafat jauh dengan agama. Wilayah kajian filsafat dianggap memiliki distingsi yang berbeda dengan agama. Filsafat mengurus domain akal sementara agama mengurus domain keyakinan. Contoh tipikal aliran filsafat yang jelas-jelas dianggap bermusuhan dengan agama adalah peripatetik.(Hillier 2005) Â
Al-Ghazali sampai menulis buku untuk membuktikan kesesatan Filsafat Peripatetik. Pertemuan awal antara agama dan filsafat di awali lewat buku Ghazali yang berjudul tahafut –at-Tahafut (inkonsistensi para filsuf). Kritikan Al-Ghazali menyadarkan bahwa filsafat dan agama memiliki bidang kajian yang sama. Menurut Hosen Nasr, agama dan filsafat memiliki kedekatan dengan filsafat karena tumbuh dari ranah kenabian “philosophy from land of propechy. “ (Rosenthal and Nasr 1964)   Â
Orientasi Baru dalam Filsafat IslamÂ
Filsafat bukan disiplin yang membeku di zamannya. Filsafat selalu menggeliat keluar dari batasan-batasan sejarah, konteks, sudut pandangan, cita-cita dan bahkan gagasannya sendiri untuk membenahi gagasan usang yang cepat usang dimakan waktu seraya tetap mempertahankan isu-isu metafisika yang abadi. Tidak pernah filsafat mendewa-dewakan gagasan yang cemerlang di zamannya.
Salah satu kecenderungan yang diminati oleh para filsuf besar di sepanjang masa (Khatami 1996) yaitu Iluminasi (isyraqiyyah); kecenderungan mengadopsi atau bahkan mengutamakan metode pengalaman spiritual khusus di samping metode nalar demonstrasi (burhan) dengan sedikit perbedaan antara menggabungkan metode burhan dan penyaksian (kasyaf) atau memposisikan intuisi lebih unggul dari rasional, atau menggunakan metode keduanya dengan perbedaan fungsi antara konteks penemuan (contex of  discovery) dan kontek justifikasi (contex of justification).  Atau memposisikan kedua disesuaikan dengan dengan level para kandidat filsuf. Â
Karakter dominan dari aliran ini yaitu peranan Tuhan dalam aspek definisi, ontologi, epistemologi, atau axiologi  baik secara langsung atau tidak. Karakter ini bervariasi dari yang memiliki orientasi sedang, menengah hingga optimal. Jika melihat ciri-cici di atas Ibu Sina di periode akhir, Suhrawardi dan Mulla Sadra adalah masuk dalam kategori Filsafat Iluminasi (Isyraqiyyah) Islam. Suhrawardi dan Mulla Sadra juga terkadang dianggap sebagai neo-peripatetik jika dilihat dari aspek loyalitasnya atas metode demonstrasi rasional (burhan)(Rizvi 2013). Karakter lain yaitu prioritas atas metode penyaksian (syuhud) yang harus didahului dengan aktifitas asketisme. Karena prioritas atas metode seperti ini sebagian menganggapnya lebih mirip dengan tasawuf.      Â
Para pakar filsafat yang meyakini adanya elemen-elemen iluminatif dalam ketiga aliran filsafat Islam adalah Hossein Nasr, Hasan-Hasan Zadeh Amuli, Jawadi Amuli, Doktor Mahmud Khatami, dan sebagainya. Yang berbeda yaitu Misbah Yazdi, Ayman Misri yang melihat ketiga aliran itu masih berbasiskan peripatetik. Ayman al-Misri melihat tulisan-tulisan filsafat yang diperindah dengan kutipan-kutipan ayat, hadis atau puisi dapat mengurangi kemurnian filsafat itu sendiri. Â
Ahli yang lain mendeskripsikan Filsafat Iluminasi sebagai gerakan pemikiran filsafat yang dimotori oleh para filsuf Ibnu Sina, Suhrawardi dan Mulla Sadra yang ingin mengembalikan  filsafat kepada kebijakan-kebijakan asli (original wisdom).(Akbarian and Neuve-Eglise 2008). Menurut Suhrawardi, Aristoteles sudah mematikan kebijakan yang asli. Suhrawardi melacak kebijakan-kebijakan kuno itu di timur dan barat dari Hindu, Persia, Babilonia dan Mesir Kuno dan melihat adanya kesatuan meskipun memakai simbol yang berbebeda-beda.(Walbridge 2001)
Ibn Sina mengadopsi teori Plotinus untuk menjelaskan sistem emanasi karena tidak puas dengan penjelasan Aristoteles. Ibnu Sina Filsuf persia pertama yang mengembangkan Filsafat iluminasi dengan menulis kitab al-Hikmah Masyriqiyyah yang tidak sempat diselesaikannya. Orientasi itu tampak dalam pernyataan dan afiliasi Ibnu Sina atas elemen-elemen Iluminasi Islam.  Â
Bagan Perbedaan Filsafat Yunani dan Iluminasi
Â
Elemen |
Filsafat Yunani (Greek) |
Filsafat Iluminasi |
Metode |
Burhan |
Burhan dan Intuitif |
Sumber Epistemologi |
Akal aktif |
Tuhan, Wahyu dan Burhan |
Axiologi |
Spekulasi |
Spekulasi dan praktik |
Ontologi |
Alam natural |
Alam Ide dan alam Natural |
Nano Warno
Dosen Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta