Ilustrasi/Net
GENIAL.ID. Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari dua tulisan sebelumnya.

Untuk bagian pertama, silakan klik: Konsep Iman dalam Filsafat Iluminasi Islam.

Untuk bagian kedua, silakan Klik: Ilmu dalam Pandangan Filsuf Iluminasionis Islam

******

Dengan mengacu perspektif filsafat iluminasi Islam dan analisanya atas ahli hadis. Serta penjelasan yang cukup panjang tentang hirarki dan juga syarat-syarat untuk memperoleh iman dan juga pandangan mereka tentang ilmu dan amal dapat diidentifikasikan ciri-ciri seorang mukmin. Ciri-ciri ini adalah buah iman dengan penjelasan-penjelasan di atas sebelumnya.

Pertama, selalu menjaga diri (takwa). Sebagaimana dijelaskan di atas untuk memperoleh iman membutuhkan proses yang cukup panjang dan berjenjang; dari pengenalan jiwa, perjalanan spiritual, penyucian diri, pengendalian jiwa yang menyebabkan seorang mukmin selalu terdidik dalam keadaan menjaga diri dan menyucikan diri. Efeknya selalu hati-hati dalam segala hal dan berusaha menghiasi dirinya dengan sifat-sifat mulia seperti wara’,  sabar, zuhud, ikhlas, tawadu dan sebagainya. Mulla Sadra selalu menyebut dirinya sebagai al-haqir wa al miskin;  si hina dina dan yang sangat membutuhkan bimbingan dari Allah swt. Para Faylasuf dan para ulama yang sejati dalam pengantar kitab-kitab mereka senantiasa melukiskan kerendahan hatian mereka dan keterbukaaan terhadap ilmu-ilmu yang lebih sempurna. Orang mukmin akan menyatu dengan ketakwaanya tidak hanya dalam kaitannya dengan Allah swt tapi juga dengan sesama manusia. Takwa adalah sifat yang sangat luas yang terkait dengan karakter kehatian-kehatian menjaga diri dari hal-hal yang dimurkai oleh Allah SWT, termasuk  dalam hal ini menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia. Orang mukmin yang melihat dengan penyaksiannya akan meyakini bahwa hanya Tuhan yang berhak sombong, karena Ia pemilik sejati segala ilmu. Sementara ilmu apapun yang dimilikinya berasal dari-Nya.

Kedua, dapat dijustifikasi secara rasional. Iman dalam tingkatan tertentu melampaui rasional, tapi tidak boleh bertentangan dengan rasio. Plato, Suhrawardi, Ibnu Sina dan Mulla Sadra untuk mendeskripsikan hal-hal yang melampui rasio kadang-kadang menggunakan bahasa-bahasa simbol seperti cerita, metafora dengan tidak menghianati logika. Novel-novel filsafat itu ditulis dengan runut dengan pesan yang jelas  dan juga  relasi logis yang terjaga di antara paragrap-paragrapnya. Pernyataan seseorang yang mengaku mengalami pengalaman spiritual yang bertentangan dengan logika harus ditolak. Kesatuan konsep dan kesatuan proposisi harus tetap terjaga agar aliran gagasan itu tetap terjaga. Gagasan yang terdiri dari rangkai proposisi disatukan oleh hubungan sebab akibat atau kelaziman-kelaziman. Para filsuf aliran iluminasi yang lebih memprioritaskan bahasa oral seperti Suhrawardi misalnya tetapi meminta kepada murid-muridnya terutama yang di level awal untuk menguasai logika  terlebih dahulu.

Ibnu Sina salah seorang tokoh awal Filsafat Iluminasi menjelaskan pentinya argumentasi burhan  di balik setiap keyakinan. Menurutnya mereka yang meyakini keesaan Tuhan dengan dasar justifikasi bahwa Allah itu tidak mengandung bagian-bagian (basith) itu lebih aman dari keraguan dari mereka yang meyakin keeasan Tuhan dengan dasar ayat yang mengatakan “ Katakanlah Dia itu Esa (qul huwa Allah ahad).

Contoh lain yaitu klaim yang sama tentang burung gagak itu berwarna hitam menjadi berbeda nilainya jika metodenya berbeda. Yang mengklaim burung gagak itu berwarna hitam dengan metode induksi (istiqra) karena setiap kali melihat burung gagak selalu berwarna hitam  itu lebih lemah dibanding yang mengklaim dengan metode rasional (burhan) yaitu berdasarkan kausa hakiki yang menjadikan burung gagak selalu berwarna hitam. Ibnu Sina ingin mengingatkan bahwa keyakinan yang karena sebab yang hakiki itu tidak akan berubah. Keyakinan yang tidak berubah disebut dengan keyakinan yang khusus (yaqin bil makna akhas) dan keyakinan yang akan berubah disebut dengan keyakinan umum (yaqin bil makna ‘aam) .

Meskipun metode rasional (burhan) dianggap metode yang lemah, namun aliran ini menempatkannya sebagai syarat utama bagi yang ingin memasuki samudera  iman yang sangat luas.  Latihan nalar (riyadah fikr) menjadi penyeimbang bagi latihan amal (riyadah ‘amal).  Selain itu juga metode rasional (burhan) merupakan  parameter ketiga untuk memverifikasi pengalaman spiritual (kasyaf) di samping parameter umum (mizan ‘am) dan parameter khusus (mizan khas). (پناخ 1388)  Parameter umum yaitu wahyu dan hadis yang merupakan pengalaman spiritual nabi Muhammad paling sempurna (kasyaf tam). Para sufi menyebutnya pengalaman spiritual sempurna (kasyf tam) karena yang melakakukannya yaitu nabi Muhammad adalah manusia yang paling sempurna, maksum,  dan memiliki kedudukan spiritual paling sempurna. 

Parameter yang kedua yaitu pengalaman secara khusus secara pesuluk berikut bimbingan seorang mursyid. Sang mursyid mengetahui secara mendalam tentang kondisi spiritual sang salik.(پناخ 1388)

Ketiga, mengafirmasikan dengan ayat-ayat al-Quran atau hadis baik sebagai dalil, neraca, testimoni, atau penukilan kata untuk keberkahan (iqtibas). al-Quran dan hadis memiliki posisi penting dalam iman seseorang. Pandangan dunia al-Quran selalu memberikan kehangatan dalam imannya. Perhatikan karya-karya para Filsuf dalam genre Iluminasi seperti Sabzawari, Qutbuddin Shirazi, Suhrawardi, Hassan Hassan Zadeh Amuli,  Jawadi Amuli yang selalu dipenuhi ayat-ayat al-Quran. Iman yang diperoleh dengan penalaran logis, pemahaman atas teks atau hasil dari pengalaman spiritual selalu memiliki resonansi dari al-Quran. Al-Quran memiliki ekspresi yang lebih indah tentang berbagai pengalaman spiritual. Tradisi genre Iluminasi memposisikan al-Quran tidak hanya sebagai dalil tapi juga testimoni dan untuk keberkahan (iqtibas).  

Keempat, harmonis dengan disiplin ilmu islam lainnya Iman adalah ilmu yang paling tinggi, menurut Mulla Sadra, iman adalah ilmu hakiki yang tertinggi. Iman memiliki relasi dengan dengan ilmu-ilmu tradisional Islam lainnya  seperti ilmu fikih, ushul fikih, kalam, ilmu hadis, tafsir dan terutama tasawuf. Ilmu-ilmu hakiki semuanya bersumber dari Ilmu nabi dan karenanya tidak mungkin berseberangan dengan ilmu-ilmu tersebut.(شيرازی 1981) Relasi iman dengan ilmu-ilmu lain bersifat komplementer. Demikian juga ilmu-ilmu tradisional membutuhkan  fondasi keyakinan yaitu iman.  Iman yang sejati tidak menafikan signifikansi ilmu-ilmu tradisional lainnya. Iman tidak akan mencederai akhlak. Buah dari iman adalah akhlak yang baik terhadap diri sendiri, keluarga dan masyarakat.Iman akar semua kebaikan.

Pada tingkat awal seorang mukmin hanya mengumpulkan wawasan (akumulasi). Sebab ilmu itu obyek yang sangat menarik, memberikan pengaruh psikologis. Seorang ilmuwan akan terus mencari dan mengumpulkan ilmu,seiring keinginan jiwanya untuk terus mendapatkan pencerahan. Dalam tahap  atau level berikutnya merasa bahwa tidak ada yang dapat memuaskan dirinya, tidak apapun, hanya Zat Yang Maha Suci dan yang Maha Agung yang dapat memberikan kebahagiaan total.

Kelima, menyerap sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Ilmu ini adalah cahaya yang menyinari  para pemiliknya. Iman mengikat lisan, hati dan perbuatan. Dengan menyaksikan dan melebur (fana) dalam alam-alam Ilahi  (hazrat Ilahi) diri orang mukmin menyerap sifat-sifat  Ilahi dan berakhlak dengan akhlak Ilahi. Menurut Karren Amstrong uhan adalah penemuan terbesar dalam sejarah manusia. Sesudah Tuhan ditemukan lalu diimani dan dalam perspektif Filsafat Iluminasi diteladani. Adagium genre ini mengatakan, “berakhlaklah dengan akhlak Tuhan.” Itulah konsekuensi bagi yang menemukan Tuhan dan konsekuensi lebih serius bagi yang menyaksikan Tuhan, hilangnya ego dan munculnya tajali sifat-sifat Tuhan.

Iman dalam detailnya mengandung rukun-rukun yang sedikit berbeda antara satu mazhab dengan mazhab lain. Ahlu sunnah meyakini lima rukun : iman  kepada Allah, para malaikat, para nabi, hari kiamat, takdir baik dan buruk.  Muktazilah  memasukan ammar makruf dan nahi munkar dan Syiah meyakini lima rukun : tauhid, nubuwwah, keadilan Ilahi dan hari kebangkitan (ma’ad). (طوسی n.d.)

Rukun iman adalah hal yang niscaya (dharury) diyakini. Dalam  ilmu-imu hakiki keniscayaan (dharuryi) terbagi menjadi tiga keniscayaan logika, keniscayaan kalami dan keniscayaan filsafat.  Keniscayaan (dharuryi) filsafat terkait dengan realita dengan gradasinya, keniscayaan kalami terkait dengan apologetik dan kenicayaan logika terkait dengan mental.

Sebagai seorang  penganut mazhab syiah Ibnu Sina, Suhrawardi dan terutama Mulla Sadra  sering menjelaskan tentang signifikansi keimamahan sebagian bagian dari prinsip akidah. Namun sebagaimana umumya para filsuf, Mulla Sadra tidak terlalu menonjolkan keyakinan tentang imamah yang menjadi distingsi dari keyakinan sunni dalam kitab-kitabnya.

Mulla Sadra tidak mempropagandakan keyakinan yang berbeda.  Sebagai sikap yang bijak bahwa Mulla Sadra tampak sangat hati-hati untuk tidak masuk ke ranah polemik dengan para teolog yang berkepanjangan yang hanya dapat diselesaikan dengan metode khusus yaitu deduksi khusus (burhan) dan pengalaman spiritual.

Diskursus prinsip imamah dalam teologi dan ahli hadis terus berlanjut hingga sekarang. Amnesia historis menyebabkan generasi selanjutnya terjebak dalam repetisisi polemik yang kurang berkualitas. Tipologi diskusi berkisar seputar metode dialektika (jadali) dan bayani tanpa menyentuh deduksi khusus (burhan), atau intuitif dan yang lainnya. Para ulama sekarang tidak berusaha untuk merangkum semua pandangan ini menjadi mozaik yang menarik seperti yang ditawarkan oleh tokoh filsafat Iluminasi Mulla Sadra.

Kecuali Muktazilah, semua mazhab teologi atau hadis meyakini signifikansi imamah hanya saja berbeda tentang ‘siapa yang wajib menetapkan’ (manshab) dan sumbernya apakah rasional atau wahyu atau apakah itu bagian dari prinsip atau cabang (furu’). Isu itu sudah banyak dibahas di kitab-kitab para filsuf neo Sadrian yang memiliki corak Iluminasi seperti kitab Asrar As-syariat, athwar ath-thariqat, wa anwar al-Haqiqat atau kitab tafsir irfani  al-Muhith al-‘Adham  karya Sayyid Haydar Amuli,  kitab-kitab tafsir an-Nasim yang memadukan al-Quran, hadis dan Filsafat karya Jawadi Amuli. kitab-kitab yang luar biasa dari Hasan-Hasan Zadeh Amuli, Fayd Kasyani, Sayyid Jalaluddin Asytiyani yang mengedit dan memberikan komentar untuk Kitab Fushus al-Hikam Ibnu Arabi, atau kitab-kitab Sayyid Kamal Haydari. Argumentasi yang  melimpah dari ayat-ayat al-Quran, hadis, dan juga pandangan para urafa besar, para teologi dan juga argumentasi burhan dan kasyaf menjadi ciri khas dari aliran Filsafat ini.                 

Ritual-ritual itu tampak sekilas dianggap tidak rasional, padahal agama mengandung juga  hal-hal yang di luar nalar. Filsafat membedakan antara irasional dan suprasional. Irasional  adalah hal-hal yang bertentangan dengan akal dan suprarasional adalah hal-hal yang melampui rasional. Agama difahami lewat pendekatan rasional namun setelah memasuki ranah yang lebih dalam lagi yang dibutuhkan adalah kepatuhan total (sami’nawa atha’na) karena tidak semua hal-hal  dapat difahami oleh akal. Dalam hadis diriwayatkan,Imam  adalah posisi (maqam) yang paling agung yang tidak mudah difahami akal manusia. “

Relasi Burhan dan  dialektika dapat diposisikan saling melengkapi dan tidak selalu diposisikan bertentangan. Burhan pada tahap tertentu mengantarkan pada otoritas wahyu. Signifikansi manusia-manusia suci yang memiliki  ilmu-ilmu Rasulullah saw, yang dijaga kesuciannya adalah hal yang dapat dijelaskan oleh nalar demonstrasi (burhan). Dari sisi lain, sumber-sumber lain seperti hadis yang telah dijustifikasi oleh burhan dapat menjadi sumber epistemologi tambahan yang lebih terinci.

Doktrin imamah berdiri di atas prinsip-prinsip teleologi penciptaan manusia, konsep mediasi antara wajibul wujud dan manusia. Tuhan memberikan porsi kepada manusia untuk memutuskan dengan potensi-potensi yang dimilikinya.  Keistimewaan dari perspektif Iluminasi yaitu mempertimbangkan potensi-potensi manusia.

Mulla Sadra percaya adanya manusia-manusia yang memiliki kecerdasan Ilahiyah (divine inteligence) dan merekalah wakil-wakil Tuhan untuk membimbing umat di zaman manapun. Signifikansi pendidikan Ilahi (tarbiyah) meniscayakan keberadaan manusia-manusia suci ini di sepanjang zaman.(شيرازی n.d.)  Burhan telah mengangkat  posisi kita pada level untuk menundukan kepala atas otoritas lain yaitu teks-teks suci yang sangat melimpah tentang posisi para pembimbing ruhani di sepanjang zaman.

Allah Swt tidak menjelaskan segala semua  hal secara mendetail. Allah SWT memberikan otonomi kepada akal manusia untuk memahami sebagian prinsip yang penting seperti prinsip kepemimpinan dunia dan akhirat dalam teks-teksnya. Dalam banyak ayat dengan jelas akal memiliki otoritas untuk mengetahui dan menjustifikasi kebenaran.   

Ibnu Sina  Filsuf par excellence  Peripatetik meyakini dasar agumentasi imamah adalah keniscayaan rasional (wujub ‘aqli) untuk kehidupan sosial yang ideal.  Setiap makhluk sosial membutuhkan hukum (nomos) dan seorang pemimpin yang bersih dari segala kepentingan.  Dan hanya nabi dan penerusnya yaitu imam yang dapat mengisinya. (سينا 1385)\

Syiah yang menjadi mazhab Mulla Sadra merujuk kepada al-Quran dengan pendekatan yang berbeda dari kalangan Ahlusunnah. Kritik ahlu hadis kepada mazhab Syiah yang tidak dapat menunjukan nama-nama imam  di dalam al-Quran atau menunjukan ayat-ayat yang muhkam tentang prinsip imamah secara mendetail adalah kritik yang tidak mempertimbangkan metode epistemologi al-Quran Syiah.  Berbeda dengan ahli hadis yang menomor satukan teks al-Quran secara verbatim, Syiah dalam urusan akidah menempatkan al-Quran sebagai pendukung akal (irsyadi ) dan argumentasi (istidlal). Menurut  syiah urusan akidah atau keimanan adalah urusan akal yang harus diyakini secara mandiri tanpa taklid.

Setelah akal mengakui kebenaran al-Quran, akal menyerahkan segalanya kepada al-Quran. Akal tidak akan menentang al-Quran  dan al-Quran juga tidak akan bertentangan dengam akal. Wilayah akal adalah hal-hal yang prinsip. Al-Quran secara verbatim tidak menyebutkan doktrin keimaman atau tidak menyebutkan nama-nama para imam, bahkan satupun nama Imam tidak disebutkan, namun itu tidak mengurangi signifikansi imam menurut Syiah. Al-Quran menurut keyakinan mazhab Syiah menyinggun tentang pentingnya kepemimpinan pasca Rasul dalam ayat-ayat yang diklasifikan dalam ayat-ayat tablig, ayat wilayah, dan ayat-ayat lainnya yang diklasifikasikan syiah dalam kitab-kitab standar mereka. Ayat-ayat al-Quran sendiri juga baik secara implisit atau eksplisit memberikan dukungan atas doktrim imamah yang tentu ditafsirkan secara berbeda oleh mazhab sunni. Sementara prinsip-prinsip doktrin keimamahan juga mendapatkan testimony dari sumber-sumber otoritas  sunni.

Sementara urusan furu’ wajib bertaklid kepada yang paling alim. Akal bukan substitusi al-Quran. Keimanan harus difahami dengan akal, bukan rayu. Mulla Sadra menjelaskan rayu adalah pernyataan tanpa alasan yang valid. Al-Quran memiliki posisi utama sebagai sumber hukum. Dalam ilustrasi imam Gazali, akal itu ibarat mata dan wahyu itu ibarat cahaya. Akal membutuhkan cahaya, demikian juga cahaya harus ada yang melihatnya yaitu akal.(Al-Ghazali 1997). Matrik akal dan wahyu yang sangat kompleks ini yang tidak dibaca oleh kaum tekstualis.

Doktrin imamah juga secara tidak langusng merupakan manifestasi dari  keyakinan kepada guru spiritual (mursyid), bimbingan Tuhan yang abadi, dan konsep wilayah yang menjadi batin dari kenabian dan risalah, dan juga konsep qutb serta bukti-bukti Tuhan (hujjah).  Nabi atau Rasul berdiri di posisi yang  dapat menyeimbangkan antara kategori intelijibel (ma’qulat) dan kategori indrawi (mahsusat). Kebutuhan terhadap para pemimpin yang memiliki kualifikasi para nabi seperti para imam hanya dapat dirasakan oleh orang-orang awam karena kemampuan para nabi dan para imam berbicara dengan bahasa kategori indrawi (mahsusat). Sementara kelompok yang mengaku intelek kadang-kadang kesulitan mendistingsi ucapan manusia-manusia suci untuk kategori intelijibel (ma’qulat) dan untuk kategori indrawi (mahsusat).

Iman itu tidak mudah diraih kecuali dengan amal. Semakin sempurna amalnya maka semakin sempurna imannya.  Amal yang melahirkan ilmu dan kemudian iman.   Rekomendasi Para filsuf Iluminasi  yaitu dengan memperbanyak amal, dan terus memperbaiki amal dan menyempurnakan amal.  Mengingat posisi iman yang akan menentukan kebahagiaan dan keabadian, menjadi tidak mudah meraih iman kecuali baik mereka yang telah bersungguh-sungguh melakukan amal-amal dan istiqamah di jalan-Nya. (Bersambung...)

Nano Warno

Dosen Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta
 

 

 

You may also like