GENIAL.ID. Kawasan perbatasan tak hanya sebagai bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, tetapi juga garda terdepan Indonesia. Garda terdepan ini memiliki masalah yang sangat kompleks, mulai dari infrastruktur dasar, akses perekonomian, gangguan keamanan, hingga ancaman pertahanan. Kebijakan penataan kawasan perbatasan telah menjadi agenda lama, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun pembentukan kelembagaan.
Istilah “garda terdepan” pertama kali penulis dengar langsung dari anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto ketika menghadiri Seminar Nasional bertema “Membangun Indonesia dari Pinggiran” yang diselenggarakan oleh Pemda Malinau, November 2015 lalu. Seminar tersebut merupakan ajang curah gagasan dan serap aspirasi antarstakeholder di Kalimantan Utara. Bertindak sebagai pembicara kunci, Sidarto menegaskan bahwa istilah “garda terdepan” lebih tepat karena memiliki konotasi positif dan optimisme daripada “pinggiran”.
Dalam konteks pembangunan kawasan perbatasan, istilah “pinggiran” ditemui dan menjadi kosakata dalam Nawacita. Point ketiga Nawacita menyebutkan, “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Klausul itu merupakan satu dari sembilan agenda prioritas sekaligus menunjukkan komitmen Pemerintah untuk mempercepat pembangunan kawasan perbatasan karena memiliki persoalan yang sangat kompleks.
Sebagai negara kepulauan yang berbatasan dengan 10 negara tetangga, yaitu Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Republik Palau, Singapura, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam, persoalan di kawasan perbatasan Indonesia tak hanya di darat dan udara, tetapi juga di laut. Kompleksitas persoalan itu membuat kebijakan mengenai wilayah Negara dan kawasan perbatasan sangat dinamis. Peraturan perundang-undangan mengenai perbatasan wilayah Negara disahkan dan lembaga yang secara khusus bertugas mengelola kawasan perbatasan dibentuk.
Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Walaupun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan, khususnya di Kalimantan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan warga negara Malaysia.
Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara menandai kemajuan tata kelola kawasan perbatasan. Berdasarkan UU ini, pengaturan Wilayah Negara tak hanya bertujuan untuk menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa, menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat, tetapi juga mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.
Kemajuan berikutnya adalah terbentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) melalui Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2010 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. BNPP menjadi tonggak baru penjagaan kedaulatan wilayah Negara dan hak-hak masyarakat di kawasan perbatasan. Peraturan Presiden tersebut disusul oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Tugas utama BNPP adalah menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perbatasan termasuk salah satu kawasan strategis nasional karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan Negara. Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 bertujuan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan Negara, yang meliputi kawasan perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut termasuk pulau-pulau kecil terluar. PKSN juga berfungsi sebagai pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara.
Mengacu pada tujuan penataan ruang, selama kurun 2014-2015 keluar Peraturan Presiden mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara (RTR-KPN) yaitu: (a) Peraturan Presiden Nomor 179 tahun 2014 tentang RTR-KP di Provinsi Nusa Tenggara Timur, (b) Peraturan Presiden Nomor 31 tahun 2015 tentang RTR-KPN di Kalimantan, (c) Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2015 tentang RTR-KPN di Propinsi Papua, (d) Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2015 tentang RTR-KPN di Provinsi Maluku, dan (e) Peraturan Presiden No. 34 tahun 2015 tentang RTR-KPN di Maluku Utara dan Papua Barat.
Rencana struktur ruang dalam RTR-KPN meliputi tiga hal: (a) pusat pelayanan utama: pusat kegiatan utama dalam peningkatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara serta pendorong pengembangan KPN, berupa PKSN, (b) pusat pelayanan penyangga: pusat kegiatan penyangga pintu gerbang peningkatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara, keterkaitan antara pusat pelayanan utama dan pusat pelayanan pintu gerbang, serta kemandirian pangan masyarakat di KPN, dan (c) pelayanan pintu gerbang: pusat kegiatan terdepan dalam peningkatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara serta kegiatan lintas batas di KPN.
Penataan “garda terdepan” Indonesia sebagai salah satu PKSN yang cukup berarti adalah revitalisasi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu. Sampai dengan tahun 2018, tercatat tujuh PLBN yang berhasil direvitalisai, yaitu PLBN Entikong, Badau, Aruk (Kalimantan Barat), Motaain, Matamasin, Wini (Nusa Tenggara Timur) kemudian Skouw (Papua). PLBN Terpadu merupakan pos pemeriksaan lintas batas orang dan barang keluar masuk batas wilayah negara. Fasilitas di PLBN Terpadu antara lain, bangunan pemeriksa terpadu kedatangan, klinik, carwash, jembatan timbang, pemindai truk, bangunan pemeriksaan keberangkatan, gudang sita, bangunan utilitas, bangunan check point dan monumen.
Menyusul selesai dan beroperasinya tujuh PLBN Terpadu, dilanjutkan dengan pembangunan “garda terdepan” lainnya melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan 11 Pos Lintas Batas Negara Terpadu dan Sarana Prasarana Penunjang di Kawasan Perbatasan. Pembangunan 11 PLBN Terpadu dan sarana penunjangnya akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah perbatasan atau dikenal dengan 3T (terdepan, terluar dan tertinggal).
Dari 11 PLBN Terpadu itu terdapat empat PLBN yang akan dibangun lebih awal, yakni PLBN Jagoi Babang (Kabupaten Bengkayang), Sota (Kabupaten Merauke), PLBN Sei Pancang Sebatik dan PLBN Long Midang (Kabupaten Nunukan). Sedangkan tujuh PLBN berikutnya adalah PLBN Serasan (Kabupaten Natuna), Oepoli (Kabupaten Kupang) dan Napan (Kabupaten Timur Tengah Utara), Yetetkun Distrik Waropko (Kabupaten Boven Digoel), Long Nawang (Kabupaten Malinau), Jasa-Sei Kelik (Kabupaten Sintang) dan Labang (Kabupaten Nunukan).
Sebagai garda terdepan, PLBN Terpadu adalah “wajah” Indonesia yang pertama terlihat oleh Negara tetangga. Penataan PLBN Terpadu tidak hanya bertujuan untuk pos lintas batas antarnegara, namun juga menjadi pendorong pusat pertumbuhan ekonomi baru, salah satunya dengan dibangunnya pasar. Kehadiran PLBN Terpadu diproyeksikan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan. Apakah PLBN Terpadu telah beroperasi secara efektif sesuai tujuan, inilah yang perlu diteliti lebih lanjut. [***]
Ian Suherlan
Peneliti Policy Research Center (PRC)